Indonesia Terdapat 270.000 ODHA

Nusa Dua ( Berita ) : Di Indonesia kini di-estimasikan terdapat sekitar 270.000 orang yang hidup dengan HIV/AIDS atau Odha, dan tingkat penyebarannya pada kaum perempuan meningkat lebih cepat dibandingkan tingkat infeksi baru pada laki-laki.

“Estimasi tersebut juga didasarkan data tahun 2007, yang memperkirakan Odha di Asia mencapai sekitar lima juta jiwa,” kata Deputi Bidang Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan, Dra. Setiawati J. Arifin, MSc, yang berbicara atas nama Menteri Pemberdayaan Perempuan Prof Dr. Meutia Hatta Swasono di Nusa Dua, Bali, Senin [03/08].

Hal itu disampaikan pada pembukaan pelatihan asosiasi perempuan muda Kristiani yang diikuti 90 pemimpin perempuan mewakili 24 asosiasi perempuan muda “Young Womans Christian Association-YWCA” dari berbagai negara di kawasan Asia Pasifik yang berlangsung 2-7 Agustus 2009.

Pelatihan dengan tema komunitas penyelamat wanita usia subur, “Women Creating Safe and Secure Communities” itu, bertujuan mengeksplorasi isu-isu kekerasan terhadap perempuan, kesehatan dan hak seksual, reporoduksi perempuan, HIV dan AIDS serta migrasi dan perubahan iklim.

Tamu penting lainnya pada kegiatan tersebut yaitu presiden YWCA dunia Susan Brenann dari Australia, Sekretaris YWCA dunia, Nyaradzayi Gumbonzvanda dari Zimbabwe dan presiden YWCA Indonesia, Theresia Helena Rooroh.

Menurut Setiawati, di sejumlah negara di Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tingkat penyebaran infeksi baru pada perempuan meningkat lebih cepat dibandingkan tingkat infeksi baru pada laki-laki, sesuai laporan UNAIDS tahun 2008.

“Berdasarkan berbagai data dan estimasi, mengindikasikan bahwa saat ini di Indonesia terdapat sekitar 270,000 Odha. Ini menjadi pekerjaan kita semua untuk turut mengatasinya, apalagi bagi kaum perempuan yang lebih mudah tertular,” ucapnya.

Disebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan juga terus-menerus menjadi penghalang utama penegakan hak asasi perempuan, perdamaian dan pembangunan di kawasan Asia dan Pasifik. Bentuk-bentuk kekerasan antara lain pembunuhan bayi perempuan, perdagangan perempuan, prostitusi paksa, kekerasan berbasis mas kawin, kekerasan dalam rumah tangga dan perkosaan dalam perkawinan.

Laporan terkini yang dipublikasikan divisi pengembangan perempuan, bekerjasama dengan UNICEF, menyebutkan bahwa di negara-negara pasifik, perkosaan anak perempuan sering tidak dilaporkan khususnya bila dilakukan oleh anggota keluarga.

“Hal itu terjadi hanya demi menghindari rasa malu keluarga, padahal yang lebih penting bagaimana mencegah dan menangani korban,” kata Setiawati seraya menjelaskan, bahwa dari sekitar 850 juta kaum muda dunia berusia 10-24 tahun, kini lebih dari separuhnya hidup di kawasan Asia dan Pasifik.

Pelatihan itu juga mengakomodir dialog pemimpin-pemimpin perempuan muda di bawah 30 tahun, guna mendiskusikan isu-isu kekerasan terhadap perempuan, kesehatan dan hak seksual serta reporoduksi, maupun masalah HIV/AIDS di kawasan ini.

Sementara Sekretaris Jendral YWCA dunia, Nyaradzayi Gumbonzvanda mengatakan, pelatihan di Asia dan Pasifik membawa YWCA dari dua kawasan diperhadapkan pada isu-isu spesifik seperti bencana alam dan migrasi. Persinggungan perubahan iklim, gender dan kekerasan, menuntut adanya perhatian khusus dari organisasi berbasis komunitas seperti YWCA.

“Saya tidak sabar untuk mendapatkan banyak pengetahuan mengenai isu-isu terkini yang dihadapi perempuan di kawasan ini. Bagi kami, pelatihan ini penting untuk menyusun rencana aksi regional yang merespon HIV/AIDS, kesehatan dan hak seksual serta reproduksi, maupun kekerasan terhadap perempuan di kawasan Asia Pasifik,” ucapnya.

YWCA dunia merupakan sebuah jaringan global perempuan yang memimpin untuk perubahan sosial dan ekonomi di lebih dari 125 negara. Asosiasi ini melakukan advokasi terhadap perdamaian, keadilan, kesehatan, martabat manusia, kebebasan dan kepedulian terhadap lingkungan. Sejak didirikan pada tahun 1855, YWCA Dunia telah berada di garis depan dalam meningkatkan status perempuan. (ant )

sumber : Harian Berita Sore

0 komentar: